Wednesday, January 30, 2008

Menjadi Konglomerat Bandwidth Ala India

Artikel ditulis sekitar 9 bulan yang lalu.

Sumber daya telekomunikasi yang utama adalah kanal. Jika kanal dianalogikan dengan jalan, maka bandwidth adalah ibarat lebar sebuah jalan. Semakin lebar semakin lancar arus lalu lintas, semakin cepat sampai tujuan. Semakin lebar sebuah jalan, semakin banyak kendaraan yang dapat melewatinya. Tidak hanya yang kecil sejenis sedan tapi juga yang besar sekelas truk atau bis.

Kalau lebar jalan dapat diukur dengan satuan meter, maka dalam dunia telekomunikasi digital, bandwidth direpresentasikan dalam bit per second atau disingkat bps. Misalnya untuk sebuah percakapan telepon, bandwidth yang diperlukan adalah 64 kilo bps (kbps). Sedangkan untuk Internet, bandwidth dapat dan boleh bervariasi.

Masih segar di ingatan kita bahwa pada masa awal booming Internet, akses dilakukan melalui modem dengan kecepatan seperti 9.6, 14.4 atau 28.8 kbps! Sekarang, dalam lingkup nasional, akses Internet melalui ADSL ditawarkan dalam kecepatan sampai 384 kbps. Dalam lingkup internasional, malah ada varian DSL yang menawarkan bandwidth hingga 20 Mega bps (Mbps).

Agak sedikit berbeda dengan dunia transportasi, kebutuhan bandwidth di dunia telekomunikasi sangat progresif dan terus meningkat seiring dengan waktu. Internet dan aplikasi-aplikasi diatasnya adalah penyebab utama fenomena tersebut. Dalam waktu dekat, aplikasi multicasting di Internet seperti IPTV akan semakin menguatkan kecenderungan global ini.

Belajar dari India

Sebenarnya tidak diperlukan kemampuan luar biasa untuk bisa memprediksikan, bahwa cepat atau lambat kebutuhan bandwidth secara individual, komunal maupun nasional akan meningkat. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita sudah melakukan langkah strategis untuk menyongsongnya? Mungkin, jawaban atas pertanyaan ini sangat beragam. Tapi ada baiknya, dalam hal ini kita melihat apa yang telah dan sedang terjadi di negara-negara lain, India misalnya.

Bisnis ICT di India termasuk yang paling pesat perkembangannya. Tidak hanya layanan telekomunikasi segmen ritel yang jadi pemicu, tapi juga layanan untuk korporasi. Banyak perusahaan multinasional melakukan R&D dan outsourcing di India, terutama perusahaan yang bergerak dalam bidang ICT.

Sedemikian pentingnya peran India, dapat dilihat melalui indikator banyaknya perusahaan asing yang beroperasi dan membuka cabang resmi di sana. Dan ketika berbicara tentang ICT, beberapa analis dan lembaga riset internasional sering menyebut India sebagai wilayah hotspot industri di Asia selatan.
Mewakili dunia bisnis ICT India, kita dapat melihat sepak terjang tiga pemain utamanya: VSNL, Reliance dan Bharti.

VSNL pada awalnya merupakan perusahaan penyedia jasa sambungan internasional satu-satunya di India. Setelah diprivatisasi pada tahun 2002, VSNL semakin gencar berekspansi tidak hanya di core bisnisnya sebagai penyedia bandwidth internasional, tapi juga di segmen layanan domestik untuk korporasi dan segmen ritel seperti akses Internet broadband.

Sedangkan Reliance dan Bharti, selain menjual bandwidth dan akses Internet, juga bergerak dalam bidang komunikasi seluler. Keduanya merupakan pemain utama komunikasi seluler India, dengan masing-masing sekitar 30 juta pelanggan (2006).

Kerajaan Bandwidth

VSNL, Reliance dan Bharti adalah tiga perusahaan yang saat ini secara de-facto menguasai sumber daya bandwidth dari, ke dan di dalam India. Dan tidak hanya itu, mereka juga eksis secara internasional.

Saat ini VSNL menguasai sekitar 19% kapasitas terpasang di segmen transatlantik, 32% di segmen transpasifik, serta 39% kapasitas total kabel yang melewati Asia selatan (lihat tabel). Menguasai hampir satu perlima dari kapasitas telekomunikasi terpasang antara Eropa dan Amerika, tentu adalah sesuatu yang istimewa untuk sebuah perusahaan asal Asia. Bahkan perusahaan telekomunikasi besar yang sudah malang-melintang di dunia bandwidth sejak lama, seperti Cable & Wireless, Global Crossing dan Level 3 hanya menguasai tidak lebih dari 13% kapasitas transatlantik.

Sebenarnya, sebagian besar resource yang sekarang dikontrol oleh oleh VSNL dan Reliance, diperoleh melalui manuver bisnis. Reliance memulainya dengan mengakuisisi FLAG Telecom pada bulan Januari 2004 senilai USD 207 juta. FLAG Telecom merupakan perusahaan internasional yang mengoperasikan FLAG (Fiber-optic Link Around the Globe), jaringan kabel optik bawah laut sepanjang 28.000 km yang terbagi dalam tiga wilayah operasi di seluruh dunia.

Gebrakan Reliance diikuti oleh VSNL yang pada bulan Juli 2005 membeli TGN (Tyco Global Network) seharga USD 130 juta. Lima bulan berikutnya giliran Teleglobe yang diambil alih. Saat ini "kerajaan" VSNL mempunyai lebih dari 200.000 km kabel optik bawah laut dan terrestrial dengan kapasitas terpasang lebih dari 20 Tera bps (Tbps), meliputi 4 benua dengan 275 PoP di 25 negara.

Dapat dikatakan, bahwa proses akuisisi oleh VSNL dan Reliance dilakukan pada saat yang tepat, dengan harga yang relatif murah. Karena, biasanya biaya (CAPEX) yang diperlukan untuk menggelar kabel baru antar benua (transatlantik atau transpasifik) berada dalam kisaran USD 500 juta sampai kurang lebih USD 1 milyar.

Walaupun tentu saja biaya operasional yang diperlukan tidak sedikit, sampai sekarang baik Reliance maupun VSNL mampu bertahan, bahkan semakin mengembangkan bisnisnya. Belum genap dua tahun mengakuisisi FLAG, Reliance melakukan upgrade kapasitas transmisi FLAG segmen Atlantik dengan menggunakan teknologi DWDM (Dense Wavelength Division Multiplexing). Sedangkan VSNL baru-baru ini tengah menyiapkan investasi tambahan sebesar USD 600 juta untuk menggelar dua sistem kabel laut baru. Yang pertama adalah untuk menghubungkan India dengan Eropa melalui perairan teluk dan nantinya juga akan terhubung ke beberapa negara Afrika. Yang kedua, kabel ke arah Asia timur melalui (seperti biasa) Singapura.

Regulasi dan Iklim Domestik

Dengan sumber daya yang cukup melimpah-ruah, ternyata publik India masih menilai harga layanan komunikasi (dan ujung-ujungnya bandwidth) masih terlalu tinggi. Hal ini tercermin dari desakan dan rekomendasi TRAI (Telecom Regulatory Authority of India - semacam BRTI-nya India) untuk melakukan amandemen / penyempurnaan regulasi penyelenggaraan jasa sambungan internasional. Salah satu tujuannya adalah untuk menciptakan iklim kompetisi yang lebih kondusif dengan membuka kesempatan pada pemain-pemain baru turut berkiprah demi kepentingan khalayak pengguna jasa telekomunikasi India.

Akhir tahun lalu pemerintah India merilis sistem kebijakan baru untuk sektor telekomunikasi. Dengan skema yang baru ini ada beberapa yang patut dicatat. Pertama, perusahaan (yang dimiliki sampai 74% oleh) asing bisa mendapatkan lisensi sebagai operator. AT&T merupakan perusahaan luar pertama yang tercatat mendapatkan lisensi operator telekomunikasi India. Kedua, perusahaan yang tidak mempunyai infrastruktur sendiri, dapat berperan sebagai VNO (Virtual Network Operator). Salah satu konsekuensinya adalah bahwa VSNL, Reliance dan Bharti sebagai penguasa stasiun labuh kabel laut harus membuka akses terhadap pihak lain, yang dalam hal ini reseller jasa telekomunikasi atau VNO.

Apakah iklim usaha dan regulasi ini akan menjadikan India sebagai surga bagi pebisnis maupun pemakai bandwidth ? Kita tunggu saja. Yang pasti, banyak hal yang dapat dipelajari. Mungkin saja India begitu concern dalam masalah bandwidth karena banyak kepentingan, misalnya untuk mendistribusikan produk-produk Bollywood. Tetapi yang lebih penting, kepada India kita tidak hanya dapat berguru menyanyi dan menari, melainkan juga semangat, kemauan dan usaha untuk menjadi raja bandwidth dunia.

Transatlantik Transpasifik Asia intern, Asia-Eropa dll.
VSNL 19 % 32 % 39 %
Reliance 13 % - 12 %
Bharti - - 10 %
Kepemilikan kapasitas terpasang untuk kabel optik bawah laut oleh 3 perusahaan asal India (2006)



Dr.-Ing. Eueung Mulyana

No comments: